Kamis, 30 Juni 2011

hampir berakhir

nyaris berakhir.


dalam sebuah perjalanan, tentu akan terdapat akhir pada ujung perjalanan tersebut. Bisa jadi akhir tersebut menjadi jembatan kepada sebuah awal yang baru. Awal dari cerita lain menuju sebuah proses yang tidak kalah menarik.

Minggu depan, mungkin saya akan menemui akhir saya. Bukan akhir hidup, melainkan akhir cerita. Akhir cerita saya sebagai mahasiswi perantau. Minggu depan saya akan kembali ke Jogjakarta untuk mengambil beberapa barang saya yang tertinggal.

Menjadi seorang perantau tidak pernah terlintas sedikitpun dibenak saya dulu. Sebagaimana anak-anak SMA lain yang muluk dan dibayang-bayangin oleh nama keren Universitas Indonesia, depok adalah tujuan utama saya dalam melanjutkan kuliah.

Sebagai seoarang siswi SMA yang sangat malas dan sangat anti terhadap angka, saya hanya tertarik dengan jurusan Sastra Inggris dan Sastra Indonesia. Tapi sebagai anak yang penuh perhitungan pula, saya segera berpikir, mau jadi apa saya nanti sebagai lulusan sastra?

Akhirnya saya segera melihat jurusan-jurusan lain di universitas yang tidak memerlukan matematika dalam proses belajar mengajarnya. Pilihan saya jatuh kepada komunikasi (jurusan hipster kala itu), sejarah, dan antropologi.

Terus terang, saya orang yang amat sangat susah menghapal. Pada dasarnya, meskipun saya tidak suka sama sekali dengan matematika, tapi logika saya lebih baik dibanding dengan daya ingat saya. Mencari angka dengan menggunakan rumus sebetulnya lebih mudah untuk saya, namun ya emang dasar saya malas dan tidak rajin, saya pun ogah berhubungan lagi dengan mata pelajaran yang satu itu.

Pada saat saya duduk di bangku 3 SMA, guru sejarah saya adalah orang yang sangat saya sukai. Entah bagaimana cara beliau mengajar, tapi saya bisa menghapal semua yang beliau ceriterakan tanpa susah payah. Imbasnya, nilai sejarah saya berturut-turut mendapat 9 di rapot. Lain halnya dengan guru Antropologi saya. Beliau adalah guru paling galak se-SMA saya. Karena saya ketakutan setengah mati, saya pun jadi pintar sekali antropologi, karena saking takutnya disuruh jawab ketika pelajaran berlangsung, tanpa disuruh pun saya sering menghapal pelajaran tersebut. Akhirnya (lagi-lagi) nilai saya pun 9 di rapot.

Saya sebetulnya bingung, jurusan apa yang sebaiknya saya ambil di jenjang perkuliahan nanti? Apa sih yang dipelajari di jurusan Komunikasi? Lalu, apabila saya mengambil jurusan Sejarah dan Antropologi, apa memang, saya menyukai kedua jurusan tersebut? Pada dasarnya saya tidak menyukai sejarah dan antropologi, nilai saya di SMA bagus itu karena ada sebabnya. Saya khawatir, bagaimana jika nanti di bangku perkuliahan tidak ada dosen yang dapat mengajar dengan enak? Bagaimana jika nanti, tidak ada dosen yang mengajar dengan galak? Bagaimana caranya saya dapat meraih nilai sempurna sebagaimana ketika saya duduk di bangku SMA?

Akhirnya, komunikasi dan sastra Inggris menjadi dua pilihan utama saya. Pertama, saya pilih Komunikasi karena saya tau itu jurusan super nyampah se jagad raya, tentu sangat pas dengan tabiat saya yang nyampah, dan kedua, saya pilih Sastra Inggris karena dari saya kecil bahasa Inggris sudah menjadi bahasa kedua yang paling saya sukai. Mengenai pilihan ketiga, akan saya cari apa jurusan yag peringkatnya paling rendah, biar saya bisa diterima. (Ya, dari dulu memang rasa percaya dulu saya akan kemampuan saya sendiri sudah sangat kecil). Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa saya tidak mempertimbangkan jurusan Ekonomi?

Pertama, sumpah mati saya benci sekali akuntansi. Lebih dari 5 kali saya ulangan Akutunsi berakhir dengan nilai NOL besar karena saya salah di nomer satu di jurnal saya. Sehingga berakibat pada salah semua lah semua jurnal saya kebawah.

Kedua, saya NGGA PERDULI sama sekali dengan apalah teori ekonomi bla bla bla. Satu-satunya dari pecahan pelajaran ekonomi (dulu waktu SMA mata pelajaran ekonomi untuk jurusan IPS dipecah tiga agar lebih spesifik, yaitu Akuntansi, Ekonomi, dan Ekonometri) yang saya sukai adalah Ekonometri. Dan itupun karena menghitung. Selebihnya, ngga deh.

Alasan terakhir adalah karena jurusan ekonomi (apapun itu) adalah jurusan dengan peminat terbanyak selain kedokteran di setiap Universitas Negri. Jadi dengan kata lain? Persaingan untuk mendapatkan kursi di jurusan ekonomi di PTN buat saya amat sangat mustahal dengan kemampuan otak saya. Jadi ekonomi memang dari awal tidak pernah masuk ke dalam daftar jurusan impian saya.

Dan jadilah, saya tulis Komunikasi sebagai pilihan pertama, Sastra Inggris sebagai pilihan kedua, dan Sejarah di urutan ketiga. Tentu karena sejarah adalah jurusan dengan peminat terendah selain Sastra Nusantara dan Sastra Jawa.

Saat itu, UM UGM adalah ujian masuk PTN yang diadakan paling awal, sebelum UM Unpad dan ujian masuk D3 UI. UGM tidak pernah masuk ke dalam perhitungan saya. Dari awal, Universitas yang saya incar adalah UI dan UnPad. Tentu karena jurusan idaman saya adalah Komunikasi. Menurut statistik tahun itu, Komunikasi UI menempati urutan pertama di seluruh Indonesia dengan presentasi jawaban yang dibutuhkan sebanyak 48% dan di peringkat kedua adalah Komunikasi UnPad dengan prosentase yang dibutuhkan adalah lupa. Ya pokoknya begitulah. Kemudian UGM, yang ngga dijagokan ada di urutan ketiga dengan presentase yang lupa juga.

Tapi emang dasar, saya sungguh beruntung tau-tau diterima di UGM. Pilihan pertama pula. Ya sudah, dasar malas mencari universitas lain, saya pun fix memantapkan hati untuk pindah ke Jogja dan menjadi mahasiswi disana.

Kala itu bulan Agustus 2006. Pertama kali saya datang ke Jogja, Jogja sedang musim dingin. Saya ingat sekali kala itu saya hobi banget siang malam naik motor kelayapan dan engga pake jaket. Saya selalu ngomel di siang hari karena cuaca yang sangat sangat panas, dan selalu menggigil kedinginan sampai gigi saya gemeletukan karena luar biasa dingin.

Pindah ke Jogja berarti banyak hal untuk saya, pertama: mandiri. Saya harus cuci baju sendiri.. bersihkan kamar sendiri.. cari makan sendiri.. mengurus apapun sendiri... apapun sendiri. Tidak boleh malas, dan tidak boleh manja.

Kedua: kebebasan. Saya terbiasa untuk meminta persetujuan orang tua saya dalam setiap hal dalam hidup saya. untuk bermain, ikut kegiatan ini itu, dan banyak hal lainnya. dan untuk pertama kalinya, saya bebas untuk melakukan semua hal yang saya inginkan. tapi dengan batasan tentunya.

ketiga dan yang terpenting adalah, saya harus mulai melihat kenyataan hidup. Bahwa hidup tidak semanis ketika saya sekolah dulu. saya terbiasa memiliki teman yang baik, manis, dan sebagainya. namun ketika pada akhirnya kamu menghabiskan waktu nyaris 24 jam sehari dengan temanmu, kamu akan mengetahui watak asli mereka, itulah pelajaran paling berharga yang saya dapat ketika saya berada di Jogja.

Hampir 5 tahun lamanya saya menghabiskan waktu disini. Disini, sebagian hati dan pikiran saya tertinggal. Jogjakarta, yang pada awalnya adalah sebuah kita yang malas sekali saya datangi, bahkan ketika saya pulang kampung, sudah menjadi tempat yang akan saya datangi lagi ketika saya punya waktu nantinya. tenangnya jogjakarta sudah menggantingkan bising dan ruwetnya jakarta yang dulu menjadi favorit saya. saya menjadi selalu ingin tinggal dan terus tumbuh di kota tersebut. jogjakarta sudah mencuri hati saya.

Dan akhirnya, ketika perjuangan saya mendapatkan gelar s1 saya selesai, saya pun harus kembali ke kota asal saya. akhirnya saya bertemu dengan ujung perjalanan saya. jogjakarta sudah menjadi sebuah kota yang indah, manis dan pahit dengan segala cerita yang dimilikinya.

Selamat tinggal Jogjakarta, doakan saya, untuk menggapai cita, dan saya bisa kembali kesana. :)

3 komentar: